Acara pertama di hari kelima ini masih melanjutkan kegiatan hari sebelumnya yaitu home stay. Kami melakukan proses diskusi mengenai banyak hal, utamanya mengenai daerah-daerah di Korea mulai dari Jeonju, Busan, hingga Gangwondo. Karena hari ini adalah hari terakhir saya homestay, saya berpamitan dengan keluarga omoni dan saya berjanji akan kembali lagi kesini dalam waktu dekat.
Setelah itu, saya berkumpul kembali dengan kontingen lain dan kami kangsung mengunjungi Seoul Forest bersama dengan mahasiswi Universitas Wanita Sook Myeong. Disini, kami melihat banyak hal.
Setelah itu, kami mengadakan sesi presentasi dengan mahasiswi tersebut mengenai tiga hal, yaitu Art & Culture, Entrepreneurship, dan Environment. Setelah itu, diadakan diskusi grup mengenai dua hal, yaitu culture dan media. Diskusi yang dibahas yaitu bagaimana menggabungkan kebudayaan modern dan budaya tradisional.
Dalam diskusi ini, kami menemukan perbedaan dalam hal menyikapi masalah tersebut. Pemerintah Korea terlihat sangat concern terhadap budaya tradisional Korea yang mereka miliki. Contohnya adalah mendirikan sekolah khusus mempelajari budaya tradisional Guk-Ak. Hal ini bertujuan agar dapat melestarikan budaya tradisional korea. Sementara di Indonesia upaya pemerintah belum begitu terlihat. Karena upaya tersebut kurang, akibat yang ditimbulkan adalah adanya klaim budaya kita oleh negara lain seperti malaysia. Masalah serupa juga dihadapi Korea, dimana banyak kebudayaan dan sejarahnya diklaim oleh Cina. Solusi yang dilakukan pemerintah Korea adalah memberikan satu hari spesial yaitu hangul Day pada tanggal 10 September. Hal ini bertujuan agar seluruh warga Korea dapat memiliki sense of belonging kebudayaannya.
Diskusi kedua yaitu masalah media. Media, baik di Korea dan Indonesia, seringkali memberikan informasi yang tidak benar. Contoh yang paling aktual adalah kesalahan informasi mengenai kecelakaan kapal feri Sewol. Media terlalu cepat memberikan informasi tanpa mengkonfirmasi kebenaran informasi tersebut. Masalah utama yang dihadapi adalah media yang ada, baik itu televisi atau koran, dimiliki oleh politisi. Hal ini menyebabkan bahwa informasi yang ditampilkan tidak netral, namun berpihak pada pihak-pihak tertentu. Solusi yang terdapat di dua negara tersebut cukup berbeda dan unik. Di Korea, para reporter yang merasa peduli akan kebenaran informasi secara tegas melakukan tindakan berupa mogok kerja, bahkan keluar dari perusahaan media, dan membentuk perusahaan media kecil lalu menyebarkan informasi yang benar lewat internet. Sedangkan di Indonesia, reporter kurang berani bertindak sehingga publiklah yang bertindak. Lewat media sosial seperti Twitter, publik menarik perhatian dengan memberikan hastag tertentu dan membuat trending topic. Hal ini sering dinamakan people power. Rakyatlah yang menentukan kebenaran suatu informasi. Kedua solusi tersebut sangat unik. Baik pihak profesi yang bergerak di bidang media dan publik harus melakukan tindakan jika ada sesuatu yang salah.
Yow, sekian tulisan saya terkait kegiatan di Korea Selatan hari ke 5. Tunggu postingan hari ke 6 besok ya. Annyeong !
Leave a Reply