Mungkin hanya sedikit orang di negeri ini yang percaya bahwa sampah dapat diubah menjadi energi. Mungkin karena ketidakpercayaan tersebut yang membuat orang membuang sampah sembarangan. Namun kenyataannya, hal itulah yang saya lihat dengan mata kepala saya sendiri ketika saya berkunjung ke Seoul, Korea Selatan. Mereka mampu mengubah sampah yang ada di kota menjadi energi dalam bentuk listrik. Mereka seolah mampu mengubah tantangan yang ada dalam bentuk sampah menjadi sebuah kesempatan yang dimanfaatkan dalam bentuk listrik.
Seoul sebagai ibukota Korea Selatan saat ini menjadi salah satu kota tersibuk di dunia. Apalagi dengan semakin berkembangnya K-Pop dan K-Drama di berbagai belahan dunia, semakin banyak orang yang mengenali Korea Selatan dan berkunjung ke Seoul sebagai ibukotanya. Sebagai kota yang sibuk, tentu banyak aktivitas yang dilakukan orang di dalamnya. Bekerja di kantor, berpergian menggunakan subway, berbelanja di berbagai tempat menarik, menghadiri banyak festival kebudayaan, dan masih banyak lagi. Dalam beraktivitas, manusia banyak menghasilkan sampah. Namun anehnya, di Seoul saya sangat jarang sekali melihat sampah bertebaran di jalan. Bahkan sulit sekali menemukan tempat sampah di jalan. Setelah ditelisik lebih dalam, ternyata orang-orang di Seoul mengumpulkan dan memisahkan sampah-sampah yang mereka hasilkan. Mereka mengumpulkan sampah yang mereka hasilkan di kantong dan saku mereka hingga menemukan tempat sampah. Mereka percaya bahwa sampah yang mereka hasilkan, jika dipilah dan diolah, akan mampu dimanfaatkan menjadi sesuatu. Mereka percaya, bahwa sebagian listrik yang mereka gunakan untuk aktivitas sehari-hari, dihasilkan dari sampah-sampah ini.
Hal positif yang bisa saya pelajari dari Korea Selatan adalah mereka mengajarkan bahwa setiap individu mempunyai peran dan tanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan. Coba tengok kebiasaan mereka saat makan. Konsep yang mereka usung adalah self-service, setelah kita makan kita harus mengembalikan ke tempatnya dan memisahkan sampah berdasarkan klasifikasinya, yaitu sampah plastik, organik, dan lainnya.
Kita coba lihat lagi cheongyecheon stream, aliran sungai kecil yang bermuara ke Hangang River, yang kini menjadi salah satu landmark kota Seoul. Di sepanjang aliran sungai ini, tak satupun sampah terlihat. Padahal, tempat ini sangat ramai dikunjungi orang. Ketika saya berkunjung kesana, sedang berlangsung Lantern Festival sehingga lebih banyak lagi orang yang berkunjung. Lagi-lagi, tak satupun sampah terlihat. Cheongyecheon stream adalah contoh nyata bahwa masyarakat sudah sangat memahami pentingnya lingkungan, ditambah lagi sistem yang mendukung untuk pelestarian lingkungan tersebut.
Kesadaran masyarakat akan lingkungan juga sangat terasa oleh penulis ketika penulis mengikuti salah satu program tinggal di keluarga asli Korea selama beberapa hari. Selama tinggal di keluarga tersebut, penulis mengamati secara jelas bahwa sampah yang ada digolongkan berdasarkan berbagai klasifikasi, mulai dari sampah organik, sampah plastik, sampah elektronik, sampah logam, dan sampah kertas. Tempat tinggal keluarga tersebut berada di lingkungan apartemen. Di tempat parkir apartemen, terlihat bahwa sampah elektronik dijual kembali dengan harga murah. Artinya ada konsep reuse yang digunakan sehingga barang tidak terbuang percuma.
Saat berbelanja bersama keluarga tersebut, penulis juga mengamati bahwa mereka membawa tote bag untuk membawa barang belanjaan. Mereka tidak menggunakan plastik atau kardus untuk membawa belanjaan tersebut. Hal ini, meskipun terlihat sepele, menunjukkan kepedulian mereka yang besar terhadap lingkungan. Mereka tahu bahwa jika plastik atau kardus tersebut yang digunakan, setelah belanja plastik atau kardus tersebut pasti akan dibuang dan tak terpakai begitu saja.
Rentetan bukti tersebut memperlihatkan kesadaraan masyarakat Korea Selatan pada umumnya dan Seoul pada khususnya terhadap lingkungan. Isu lingkungan sangat terasa akhir-akhir ini. Dampak ketidakpedulian manusia akan alam dan lingkungan menyebabkan global warming terjadi dimana-mana. Hampir semua negara di dunia merasakan dampak ini. Namun hanya sedikit yang bertindak untuk mengatasi dampak lingkungan, salah satunya Korea Selatan. Tak hanya berbasis kesadaran dan keinginan bertindak, konsep melestarikan lingkungan dengan cara mengubah sampah menjadi listrik hanya dapat diterapkan jika memanfaatkan teknologi.
Sekali mendayung, dua tiga pula terlampaui. Mungkin pepatah itulah yang tepat dilontarkan melihat penerapan teknologi yang diterapkan Korea Selatan terkait pengubahan sampah menjadi listrik ini. Tidak hanya masalah lingkungan yang mampu di atasi oleh teknologi, namun juga masalah energi. Seiring dengan semakin menipisnya jumlah bahan bakar fosil seperti minyak, gas, dan batubara, kita dituntut untuk mencari sumber energi alternatif. Listrik merupakan salah satu bentuk energi yang mempunyai kualitas tertinggi, karena mampu dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Sampah sebagai sumber biomassa dapat dimanfaatkan sebagai salah satu energi alternatif untuk listrik karena tersusun atas unsur karbon dan hidrogen yang mempunyai nilai energi.
Di Seoul, terdapat 5 pabrik pembangkit listrik berbasis sampah. Volume sampah yang jumlahnya lebih dari 700 ton per harinya disulap menjadi listrik yang mampu menerangi rumah-rumah warga. Lebih dari 10.000 rumah di Seoul penerangannya dihasilkan oleh listrik dari sampah ini. Pembangunan pabrik-pabrik ini juga tidak memakan waktu lama, yaitu sekitar 4 tahun.
Teknologi yang digunakan untuk mengubah sampah menjadi listrik di Seoul bernama Direct Combustion. Sampah yang telah dipilah dan dikumpulkan, utamanya sampah plastik, akan dipanaskan hingga suhu tertentu dan terbakar, menghasilkan panas dalam jumlah besar. Panas yang dihasilkan akan dimanfaatkan untuk mengubah air proses menjadi steam, dimana steam akan digunakan untuk memutar turbin uap sehingga mampu menghasilkan listrik. Teknologi ini sebenarnya sangat sederhana. Awalnya, Korea Selatan hanya mengadopsi teknologi mengubah sampah menjadi listrik ini dari Denmark. Namun, seiring berjalannya waktu mereka justru mampu mengembangkan teknologi ini menjadi sangat baik.
Pengembangan teknologi Direct Combustion oleh Korea Selatan ini ditinjau dari pemanfaatan limbah dari pabrik pembangkit listrik berbasis sampah itu sendiri. Ada dua limbah utama yang dihasilkan, yaitu abu (ash) dan gas buangan (flue gas). Abu yang dihasilkan dimanfaatkan sebagai aditif untuk pembuatan beton. Gas buangan yang masih mengandung gas-gas berbahaya seperti COx, NOx, dan SOx ditreatment terlebih dahulu seperti dilakukan proses filter, adsorpsi dengan karbon aktif, dan reaktor fluidisasi, sehingga gas buangan yang keluar lingkungan sudah aman dan memenuhi standar yang ditentukan.
Kekaguman saya mengenai pemanfaatan teknologi ini dapat dimaklumi. Saya merupakan mahasiswa jurusan teknik kimia yang kelak akan menjadi process engineer. Sebagai engineer, kita dituntut untuk merealisasikan pengetahuan yang ada menjadi sesuatu yang bermanfaat. Lebih khusus lagi, process engineer mempunyai peran utama mendesain sebuah pabrik. Namun kenyataannya, sangat sedikit karya bermanfaat yang tercipta oleh engineer di negeri tercinta kita ini, yang berkaitan dengan energi dan lingkungan sekaligus. Biasanya, karya yang dihasilkan hanya menyangkut satu aspek saja. Isu energi dan lingkungan bahkan seringkali bertabrakan jika sebuah teknologi diterapkan. Sebagai contoh, pengembangan energi nuklir di Indonesia untuk menunjang kekurangan listrik ditolak oleh masyarakat karena dianggap membahayakan lingkungan, jika terjadi kebocoran pada reaktor nuklir. Dengan pemberian pemahaman yang baik dari pemerintah Korea Selatan kepada masyarakat, teknologi yang ada mampu diterima oleh masyarakat. Pemerintah Korea Selatan mampu meyakinkan masyarakatnya bahwa teknologi ini akan membawa negara mereka pada konsep sustainability lingkungan dan energi.
Saya membayangkan bahwa di Jakarta, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang suatu hari nanti dapat diubah menjadi pabrik pembangkit listrik berbasis sampah. Diperlukan kerja sama dari semua pihak untuk dapat merealisasikan hal ini. Pemerintah harus mempersiapkan regulasi terkait pemilahan sampah dan transportasi sampah ke pabrik tersebut. Masyarakat harus peduli terhadap lingkungan dengan cara memilah sampah dengan baik. Saya sebagai engineer harus mampu mendesain dengan baik pabrik tersebut dan berusaha merealisasikannya. Juga saya sebagai warga Jakarta punya tanggung jawab terhadap hal tersebut. Jika benar terlaksana, tentu akan sangat bermanfaat bagi kita semua dan membuat anak cucu kita tersenyum ketika mereka dewasa kelak.
Leave a Reply